Oleh : Abdul Kabir Albantani

Banten, AktualBanten.Id – Tindakan penyerobotan tanah secara tidak sah merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana. Adanya perbuatan yang disengaja yang dilakukan oleh orang yang melakukan penyerobotan atas tanah milik orang yang diatur dalam Pasal 385 Ayat (4) KUHP: “Barang siapa dengan maksud yang sama, mengendalikan atau menyewakan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat, padahal ia tahu bahwa orang lain yang mempunyai hak atau turut mempunyai hak atas tanah itu diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama empat tahun”.

Bahwa pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, menentukan bahwa: “Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah”. Jika ketentuan ini dilanggar, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp5.000,00 (lima ribu rupiah)”, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6. Ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 51 Tahun 1960 juga berlaku untuk perbuatan:

  1. Mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
  2. Menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud pada huruf a dan b;
  3. Memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada Pasal 2 atau huruf b.

Tanah merupakan salah satu unsur untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seseorang yang memiliki tanah, pasti memiliki alat bukti kepemilikan atas tanah. Sertifikat merupakan alat bukti hak atas tanah dan sebagai alat pembuktian yang kuat menurut ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 yang diterbitkan melalui pendaftaran tanah.

Bagi seseorang yang dalam hal ini belum memiliki sertifikat hak atas tanah, maka perlu membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah tersebut dengan alat-alat bukti lainnya selain sertifikat. Tanah yang belum memiliki sertifkat sangat rentan terjadi konflik atau sengketa dengan pihak lain. Oleh karena itu, ada 2 (dua) permasalahan dalam kasus ini, permasalahan pertama, yaitu apa alat bukti yang dapat dipakai oleh pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat dan yang kedua, yaitu bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat.

Tujuan yang hendak diangkat dalam kasus ini oleh penilis, yaitu untuk mengetahui dan memahami tentang alat bukti yang dapat dipakai oleh pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat dan untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum terhadap pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat. Dasar yang dipakai oleh penulis adalah hasil penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Sumber bahan hukum meliputi, bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Tinjauan pustaka penulis terdiri dari beberapa hal, antara lain : pengertian tanah, pengertian hak atas tanah, macam-macam hak atas tanah, pengertian penguasaan atas tanah, pengertian hak milik, subjek hak milik, terjadinya hak milik, pengertian alat bukti, macam-macam alat bukti, fungsi alat bukti hak atas tanah, pengertian perlindungan hukum dan sarana perlindungan hukum.

Hasil kajian dan kesimpulan penulis yaitu Pertama, mengenai Alat bukti yang dapat dipakai oleh pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat yang berkaitan dengan pendaftaran hak pada PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat menggunakan alat bukti kepemilikan sebelum lahirnya UUPA sebagaimana diatu pada Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997, berupa:

Grosse akta hak eigendom, Petuk pajak Bumi/Landrete, girik, pipil, ketitir, dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP 10/1961, Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, atau lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud Pasal II, Pasal VI, dan Pasal VII ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, dan alat bukti kepemilikan hak atas tanah setelah berlakunya UUPA adalah sertifikat, tetapi terhadap pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat dapat dibuktikan dengan alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang berkaitan dengan pendaftaran hak sebagaimana diatur pada Pasal 23 PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, berupa Asli Akta PPAT.

Pertama, bentuk perlindungan hukum xiv terhadap pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat ada dua, yaitu pertama perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang lebih mengarah untuk mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif terhadap pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat adalah dengan melakukan pendaftaran tanah. Seseorang yang pendaftaran tanahnya akan menerbitkan surat tanda bukti hak berupa sertifikat yang diterbitkan oleh BPN. Dengan sertifikat tersebut, seseorang dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang sah dan dapat memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi pemegang hak beserta tanahnya sebagaimana maksud dari tujuan pendaftaran tanah yang diatur pada Pasal 3 PP 24/1997 dan Pasal 2 ayat (2) Permen ART/BPN 6/2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

Kedua, Perlindungan hukum represif, yaitu bentuk perlindungan hukum yang arahnya lebih kepada upaya penyelesaian sengketa. Mengenai hak milik atas tanah yang belum bersertifikat tetap mendapatkan perlindungan hukum apabila memperoleh tanahnya dengan itikad baik. Maksud itikad baik adalah seseorang memperoleh tanahnya dengan itikad baik telah menguasai dan memanfaatkan serta mengolah tanah, berhak untuk memperoleh hak atas tanah. Perlindungan hukum terhadap pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat dengan itikad baik sebagaimana diatur pada Pasal 32 dan Pasal 27 PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu dapat mengajukan pengaduan, keberatan dan gugatan melalui pengadilan untuk mencari kebenaran mengenai kepemilikan hak atas tanah yang sah.

Saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah Pertama, mengingat pentingnya sertifikat sebagai alat bukti hak atas tanah yang sah dan sebagai alat pembuktian yang kuat, disarankan kepada masyarakat yang masih menggunakan alat bukti kepemilikan tanah yang bukan berupa sertifikat tanah untuk segera mendaftarkan tanahnya kepada pejabat yang berwenang untuk mendapatkan alat bukti hak atas tanah yang sah dan kuat menurut ketentuan UUPA dan PP 24/1997 yaitu sertifikat hak atas tanah dan Kedua, terkait perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat pertama-tama memerlukan tersedianya perangkat hukum tertulis, jelas, dan lengkap, oleh karena itu diharapkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam bidang pertanahan perlu direvisi kembali sesuai dengan keadaan sekarang. (*)

Penulis Adalah Aktivis Pembela Masarakat Malang yang kerap mendapingi warga yang menjadi korban para mafia tanah akibat tanah yang dimiliki warga banyak yang belum memiliki sertifikat atau surat kepemilikan tanah yang sah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *