Oleh: Denny JA

Jakarta, AktualBanten.Id – Mendengar berita wafatnya Sutrisno Sutanto, saya langsung teringat kisah seorang Yahudi yang mencari orang Indonesia karena ingin berterima kasih, dan diskusi soal isu keberagaman di Indonesia. Tengah malam menuju 31 Maret 2024, saya sebenarnya sudah mengantuk berat sekali. Sudah pula saya minum obat batuk, yang menambah rasa kantuk.

Sebelum tidur, saya sempatkan membaca WA, untuk sekilas saja. Astaga, betapa kagetnya saya. Mendadak rasa kantuk hilang. Terbaca berita di banyak WA Grup. Trisno Sutanto, sahabat untuk isu keberagaman, pluralisme, agama yang moderat, meninggal dunia. Padahal seminggu sebelumnya, ia nampak segar dan banyak bercanda dalam jumpa tatap muka di acara Tadarus Puisi Bulan Ramadhan.

Saya pun memilih tidak tidur malam itu. Sambil menunggu sahur, saya ingin menulis sesuatu tentang Trisno Sutanto, sebagai penghargaan atas komitmen dan perjuangannya untuk merawat keberagaman di Indonesia. Saya pun mandi malam, air hangat, agar kantuk saya hilang, dan menulis.

Saya teringat peristiwa sekitar sepuluh tahun lalu, di tahun 2014. Trisno Sutanto bertandang ke kantor saya. Kami sudah janji karena ia, katanya, akan membawa proposal yang bagus.

“Begini bro,” ujar Trisno langsung to the point. Ada seorang Yahudi sedang mencari orang Indonesia, yang ia kenali ketika usia si Yahudi itu lima tahun.

Itu era Holocoust, di tahun 1940an di Belanda. Hitler dan Nazi pun masuk ke Belanda, sebagai rangkaian ekspansinya menguasai Eropa.

Di Belanda, terjadi hal yang sama. Kaum Nazi mencari orang Yahudi untuk ikut pula dimasukkan ke dalam camp konsentrasi, dibunuh massal.

Orang Yahudi ini, masih sangat kecil saat itu. Di tahun 1940 itu, usianya sekitar 4-5 tahun. Keluarga Yahudi itu, setelah Nazi dikalahkan, kemudian bercerita kepadanya.

Di Belanda, ketika ia berusia 4 tahun, ia diselamatkan dan diambil oleh sebuah keluarga, yang bukan Yahudi, dan disembunyikan. Orang Yahudi ini masih ingat. Setiap kali ingin tidur, wanita yang merawatnya menyanyikan lagu pengantar tidur.

Setelah ia dewasa, ia tahu. Itu lagu dari Indonesia. “Nina bobo, oh Nina bobo. Kalau tidak bobo, digigit nyamuk.”

Ada dua kemungkinan, ujar Yahudi ini. Mungkin ia dulu diselamatkan oleh keluarga Indonesia. Atau ia diselamatkan oleh keluarga yang pembantunya berasal dari Indonesia.

Si Yahudi ini ingin sekali membuat film tentang peristiwa itu. Ia sudah menyusuri jejak orang Indonesia itu. Wanita yang mengendongnya dan menyanyikan Nina Bobo sudah lama pulang ke Indonesia.

Mereka perlu dana untuk napak tilas mencari perempuan Indonesia itu. “Tertarik bro, untuk ikut terlibat investasi dalam project film ini. Tapi dana bro diperlukan untuk mencari dulu perempuan yang menyanyi Nina Bobo itu, sementara diduga, ia mungkin orang Maluku. Pencarian kita fokus ke Maluku dulu.” ujar Trisno.

“Wah, ini isu besar dan penting” kata saya. Trisno tahu saya termasuk orang yang sangat fanatik nonton film.

Saya juga pernah cerita pada Trisno soal film serupa, yang mendokumentasikan orang- orang di luar yahudi, yang gagah berani menyelamatkan kaum yahudi dari Nazi Hitler. Film berjudul: Shindler’s List (1994), The Pianist (2002), Defiance (2009), sedikit banyak juga memiliki cerita yang sama. Dan sang penyelamat itu kemudian diberi penghargaan yang tinggi sekali dari pemerintah Israel.

Mereka disebut sebagai pahlawan kemanusiaan. Sampai hari ini, anak dan cucu dan cicit dari komunitas Yahudi, yang diselamatkan oleh Schindler masih berkumpul setiap tahun. Kadang bersama mereka mengunjungi makam Schindler.

Oskar Schindler, seorang pengusaha Jerman, menyelamatkan lebih dari 1.000 orang Yahudi dari Holocaust dengan mempekerjakan mereka di pabriknya di Krakow, Polandia. Dia menggunakan kekayaan dan pengaruhnya untuk melindungi mereka dari deportasi dan kematian di kamp konsentrasi.

Orang-orang yang diselamatkan Schindler dikenal sebagai “Schindlerjuden” (Orang Yahudi Schindler). Mereka berasal dari berbagai latar belakang, termasuk keluarga, profesional, dan orang tua dengan anak-anak. Schindler membantu mereka membangun komunitas di dalam pabrik, dengan menyediakan tempat tinggal, makanan, dan layanan keagamaan.

Schindler menggunakan berbagai cara untuk melindungi Schindlerjuden. Dia memalsukan dokumen, menyuap pejabat Nazi. Dia juga menyediakan tempat berlindung bagi mereka yang melarikan diri dari kamp konsentrasi.

Tindakan Schindler memiliki dampak yang luar biasa pada kehidupan orang-orang yang dia selamatkan. Mereka dapat membangun kehidupan baru setelah perang, dan banyak yang memiliki anak dan cucu. Schindlerjuden masih berkumpul setiap tahun untuk menghormati Schindler dan mengenangnya.

Pemerintah Israel memberikan penghargaan “Righteous Among the Nations” kepada orang luar yang menyelamatkan orang Yahudi selama Holocaust. Penghargaan ini termasuk medali dan sertifikat, dan penerima diabadikan di Yad Vashem, museum Holocaust di Yerusalem.

Saya tanya pada Trisno. “Bro, pembantu ini dicari dalam rangka apa?” Jawab Trsno, “Ia akan diberi penghargaan oleh pemerintah Israel. Juga memorinya diperlukan untuk mengkonstruksi realitas sebenarnya.”

“Tapi bro,” jawab saya, “kita realistik saja. Jika pembantu Indonesia di tahun 1940, usianya 30 tahun, sekarang tahun ini (tahun 2014), usianya 104 tahun. Orang Indonesia, besar kemungkinan sudah mati di usia 104 tahun.”

“Di samping itu,” ujar saya lagi, “jika pemerintah Israel berkehendak, mereka juga pasti punya dana, untuk proyek balas jasa itu.”

“Cari program lain saja, bro. Terutama untuk isu keberagaman di Indonesia sendiri,” jawab saya.

Ingatan saya berikutnya soal Trisno Susanto di tahun 2021, tujuh tahun kemudian. Ia kembali bertandang ke kantor saya. Kali ini, ia membawa draft buku karangannya Politik Kebhinekaan.

“Sesuai pesan bro yang dulu, ujar Trisno, ini draft buku kumpulan esai saya.” Saat itu Covid- 19 masih melanda Indonesia. Kami bicara berjarak. Masing masing memakai masker.

Buku Trisno pun didiskusilan dalam webinar Forum Esoterika. Saya memberi catatan atas bukunya itu (Seri Diskusi Esoterika 14).

Topik utama buku Trisno Sutanto: Politik Kebhinekaan. Ini buku terbit tahun 2021. Tebal 401 halaman. Kumpulan 30 esai, rekaman perjalanan aktivis dan intelektual Bro Sutrisno selama 25 tahun.

Banyak esai menarik di buku Trisno itu. Tapi saya kupas satu saja, yang merupakan puncak pemikirannya soal politik kebhinekaan. Judulnya diletakkan di Epilog: Masa Depan Politik Kebhinekaan.

Bro Trisno memaparkan tiga perkembangan penting yang ia lihat sejak Reformasi. Yaitu: amandemen konstitusi yang banyak melindungi hak asasi. Tentu itu hal utama. Karena kebhinekaan mendapatkan basis konstitusinya.

Kedua: Sutrisno juga menyinggung Pilkada Jakarta 2017. Ini politik yang kemudian benar-benar membelah warga negara menjadi kita versus mereka: kadrun vs cebong, kampret. Pembelahan ini berlanjut hingga Pilpres 2019, bahkan dalam pro kontra kebijakan Jokowi soal non politik: Covid 19.

Ketiga: Fatwa MUI yang keras sekali mengharamkan sekularisme, liberalisme, pluralisme. Ini fatwa yang mempertebal kultur yang membelah keakraban, keanekaan warga negara.

Ada trend yang berlawanan terjadi. Di satu sisi, konstitusi melindungi keberagamaan melalui amandemen. Tapi di sisi lain, dinamika politik justru membelah keberagamaan.

Trisno mengajukam “Panduan 3 R” untuk politik kebhinekaan ke depan. Pertama: Recognisi. Ini pengakuan dan penerimaan atas keberagaman itu. Kedua: Representasi. Kelompok yang beragam itu terwakili dalam pemerintahan, kelembagaan dan ruang publik. Ketiga: Retribusi. Keberagaman ini membawa kepada kepentingan publik bersama.

100 persen saya setuju dengan pandangan ini. Tapi masalahnya bagaimana mewujudkan itu. Atau lebih mendasar lagi, sekarang kita ada di tahap mana dalam rangka menuju politik kebhinekaan yang ideal itu. Inilah topik penting yang belum dieksplor dalam 30 esai Trisno, plus prolog, plus epilognya.

Ada 4 tahap politik keberagaman. Ini modifikasi dari kategorisasi tahap pertumbuhan demokrasi.

  1. Tahap puncak: Full demokrasi. Hak asasi manusia sepenuhnya dilindungi. Kebhinekaan terjamin.
  2. Tapi half democracy: Iliberap democracy. Demokrasi politik terjamin. Tapi kulturnya belum liberal. Persekusi atas minoritas masih terjadi.
  3. Tahap sistem campuran. Dalam tahap ini, Demokrasi politikpun belum terjamin. Sudah ada pemilu tapi hasilnya bisa diatur.
  4. Tahap totalitarisme. Ini demokrasi sama sekali tak ada. Oposisi bahkan bisa dibunuh.

Indonesia ada di tahap kedua: tahap demokrasi yang masih separuh. Politik kebhinekaan kita ada pada phase illiberal democracy, demokrasi yang tak liberal. Perlindungan pada hak asasi manusia belum penuh.

Kondisi keberagaman sudah lumayan di tingkat konstitusi. Tapi masih problem di tingkat eksekusi. Misalnya masih terjadi persekusi atas shiah, ahmadiah. Juga masih banyak hate speech atas kaum sekuler, liberalis, pluralis.

Di tahap ini, terapinya negara harus lebih hadir memberi perlindungan, menjamin keberagaman. Dan negara harus pula tegas kepada pihak yang acap menyatakan hate speech.

Mungkin perlu waktu 10-30 tahun lagi bagi Indonesia untuk tumbuh menjadi demokrasi yang penuh (tahap puncak). Saat itulah politik kebhinekaan lebih terjamin. Dari sekarang sampai 10-30 tahun mendatang, kita masih perlu berjuang agar terpilih dan terbentuk pemerintahan yang lebih hadir melindungi keberagaman.

Trisno Sutanto sejak tahun 2014, selalu intens berkomunikasi dengan saya, terutama di WA japri, ataupun WAG Ciputat Grup, Esoterika dan Satupena. Sayup- sayup saya mendengar ia acapkali sakit karena asam lambung dan asam urat. Namun jika jumpa tatap muka ataupun di japri WA, ia tak pernah cerita langsung.

Selamat jalan, teman. Isu keberagaman, kebebasan dan kesetaraan yang bro Trisno hayati sebagai life calling, akan terus hidup. Akan terus kami nyala-nyalakan. Selamat jalan sang pejuang. (*)

31 Maret 2024.

Catatan: Penulis adalah Ketua Satu Pena dan Pendiri LSI Denny JA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *